Selasa, 16 Agustus 2011

APABILA SHALAT 'ID JATUH PADA HARI JUM'AT

Apabila hari raya Idul Fithri atau Idul Adha bertepatan dengan hari Jum’at, apakah shalat Jum’at menjadi gugur karena telah melaksanakan shalat ‘ied? Untuk masalah ini para ulama memiliki dua pendapat. 

Pendapat Pertama:
Orang yang melaksanakan shalat ‘ied tetap wajib melaksanakan shalat Jum’at.
Inilah pendapat kebanyakan pakar fikih. Akan tetapi ulama Syafi’iyah menggugurkan kewajiban ini bagi orang yang nomaden (al bawadiy). Dalil dari pendapat ini adalah:

1. Keumuman firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumu’ah: 9)

2.  Dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Jum’at. Di antara sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
“Barangsiapa meninggalkan tiga shalat Jum’at, maka Allah akan mengunci pintu hatinya.”[2] Ancaman keras seperti ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu wajib.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
Shalat Jum’at merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat golongan: [1] budak, [2] wanita, [3] anak kecil, dan [4] orang yang sakit.

3.  Karena shalat Jum’at dan shalat ‘ied adalah dua shalat yang sama-sama wajib (sebagian ulama berpendapat bahwa shalat ‘ied itu wajib), maka shalat Jum’at dan shalat ‘ied tidak bisa menggugurkan satu dan lainnya sebagaimana shalat Zhuhur dan shalat ‘Ied.

4.  Keringanan meninggalkan shalat Jum’at bagi yang telah melaksanakan shalat ‘ied adalah khusus untuk ahlul bawadiy (orang yang nomaden seperti suku Badui). Dalilnya adalah,
قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ ثُمَّ شَهِدْتُ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِى فَلْيَنْتَظِرْ ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ
“Abu ‘Ubaid berkata bahwa beliau pernah bersama ‘Utsman bin ‘Affan dan hari tersebut adalah hari Jum’at. Kemudian beliau shalat ‘ied sebelum khutbah. Lalu beliau berkhutbah dan berkata, “Wahai sekalian manusia. Sesungguhnya ini adalah hari di mana terkumpul dua hari raya (dua hari ‘ied). Siapa saja dari yang nomaden (tidak menetap) ingin menunggu shalat Jum’at, maka silakan. Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan.”

Pendapat Kedua
 Bagi orang yang telah menghadiri shalat ‘Ied boleh tidak menghadiri shalat Jum’at. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at agar orang-orang yang punya keinginan menunaikan shalat Jum’at bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ‘ied bisa turut hadir.

Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Az Zubair. Dalil dari pendapat ini adalah:

1. Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,
أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».
“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan.”[5]

Asy Syaukani dalam As Sailul Jaror (1/304)  mengatakan bahwa hadits ini memiliki syahid (riwayat penguat). An Nawawi dalam Al Majmu’ (4/492) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). ‘Abdul Haq Asy Syubaili dalam Al Ahkam Ash Shugro (321) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. ‘Ali Al Madini dalam Al Istidzkar (2/373) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). Syaikh Al Albani dalam Al Ajwibah An Nafi’ah (49) mengatakan bahwa hadits ini shahih. Intinya, hadits ini bisa digunakan sebagai hujjah atau dalil.

2.  Dari ‘Atho’, ia berkata, “Ibnu Az Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari Jum’at pernah shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu shalat Jum’at Ibnu Az Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thoif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan sunnah (ajaran Nabi) [ashobas sunnah].”Jika sahabat mengatakan ashobas sunnah(menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi.

Diceritakan pula bahwa ‘Umar bin Al Khottob melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Az Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair. Begitu pula ‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat ‘ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak diketahui ada pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka ini.
Kesimpulan:
  • Boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat ‘ied untuk tidak menghadiri shalat Jum’at sebagaimana berbagai riwayat pendukung dari para sahabat dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat ini.
  • Pendapat kedua yang menyatakan boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat ‘ied tidak menghadiri shalat Jum’at, ini bisa dihukumi marfu’ (perkataan Nabi) karena dikatakan “ashobas sunnah (ia telah mengikuti ajaran Nabi)”. Perkataan semacam ini dihukumi marfu’ (sama dengan perkataan Nabi), sehingga pendapat kedua dinilai lebih tepat.
  • Mengatakan bahwa riwayat yang menjelaskan pemberian keringanan tidak shalat jum’at adalah khusus untuk orang yang nomaden seperti orang badui (yang tidak dihukumi wajib shalat Jum’at), maka ini adalah terlalu memaksa-maksakan dalil. Lantas apa faedahnya ‘Utsman mengatakan, “Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan”? Begitu pula Ibnu Az Zubair bukanlah orang yang nomaden, namun ia mengambil keringanan tidak shalat Jum’at, termasuk pula ‘Umar bin Khottob yang melakukan hal yang sama.
  • Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jum’at supaya orang yang ingin menghadiri shalat Jum’at atau yang tidak shalat ‘ied bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah anjuran untuk membaca surat Al A’laa dan Al Ghosiyah jika hari ‘ied bertemu dengan hari Jum’at pada shalat ‘ied dan shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam dua ‘ied yaitu shalat Jum’at “sabbihisma robbikal a’la” dan “hal ataka haditsul ghosiyah”.” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.
Hadits ini juga menunjukkan dianjurkannya membaca surat Al A’laa dan Al Ghosiyah ketika hari ‘ied bertetapan dengan hari Jum’at dan dibaca di masing-masing shalat (shalat ‘ied dan shalat Jum’at).
  • Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jum’at dan telah menghadiri shalat ‘ied, maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur sebagaimana dijelaskan pada hadits yang sifatnya umum. Hadits tersebut menjelaskan bahwa bagi yang tidak menghadiri shalat Jum’at, maka sebagai gantinya, ia menunaikan shalat Zhuhur (4 raka’at).
Semoga apa yang kami sajikan ini bermanfaat bagi kaum muslimin.  Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

SHALAT 'IDUL FITRI

Setelah menjalankan puasa ramadhan,rasa bahagia dan bersyukur menyelimuti hati umat islam,karena telah dipanjangkan umur dan dapat menyelesaikan kewajiban berpuasa satu bulan lamanya serta ditutup dengan Shalat Idul Fitri berjamaah. Selain itu, Allah SWT telah memberikan kesempatan kepada kita untuk meraih sebanyak-banyaknya pahala dan menghapus segenap dosa sehingga kembali suci.

Namun ada pula kesedihan sekaligus terharu karena bulan yang begitu penuh berkah dan maghfirah ternyata akan segera berlalu. Tiada lagi kenikmatan tak terhingga berbuka puasa, tiada lagi puasa bersama seluruh keluarga, kumpul sahur dan bercanda saat buka,  suara tadarus dari masjid hingga pagi hari, kesempatan memperoleh pahala yang tak terhingga dan bulan yang mensucikan segala dosa. Yang tersisa adalah rasa takut tak berjumpa lagi dengan Ramadhan. dengan harapan umat islam dapat memulai lembaran baru lagi dalam mengisi buku amal ibadahnya di tahun-tahun selanjutnya.
 
Shalat Ied adalah ibadah  shalat sunnat yang dilakukan setiap hari raya idul fitri dan idul adha. Shalat Ied termasuk dalam salat sunnat muakkad, artinya shalat ini walaupun bersifat sunnat namun sangat penting sehingga sangat dianjurkan untuk tidak meninggalkannya.

Idul Fitri (dalam bahas arabnya عيد الفطر ‘Īdu l-Fiṭr) adalah hari raya umat islam yang jatuh pada tanggal 1 syawal pada penanggalan hijriyah, Karena penentuan 1 syawal yang berdasarkan peredaran bulan tersebut, maka Idul Fitri terjadi pada saat Puasa jatuh pada tanggal yang berbeda-beda setiap tahunnya apabila dilihat dari penanggalan masehi. Cara menentukan 1 syawal juga bervariasi, sehingga boleh jadi ada sebagian umat Islam yang merayakannya pada tanggal masehi yang berbeda.

Diriwayatkan dari Abi Umair bin Anas, diriwayatkan dari seorang pamannya dari golongan Anshar, ia berkata : Mereka berkata : Karena tertutup awan maka tidak terlihat oleh kami hilal syawal, maka pada pagi harinya kami masih tetap puasa, kemudian datanglah satu kafilah berkendaraan di akhir siang, mereka bersaksi dihadapan Rasulullah saw.bahwa mereka kemarin melihat hilal. Maka Rasulullah SAW. memerintahkan semua manusia (ummat Islam) agar berbuka pada hari itu dan keluar menunaikan salat 'ied pada hari esoknya. (H.R : Lima kecuali At-Tirmidzi)

Pada tanggal 1 syawal, umat islam berkumpul pada pagi hari dan menyelenggarakan shalat idul fitri bersama-sama di masjid-masjid, di tanah lapang, atau bahkan jalan raya (terutama di kota besar) apabila area ibadahnya tidak cukup menampung jamaah.

Abu Sa’id Al Khudri mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى 
Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha menuju tanah lapang.

Niat shalat idul fitri, sebagaimana juga shalat-shalat yang lain, yaitu cukup diucapkan di dalam hati, yang terpenting adalah niat hanya semata karena Allah SWT semata, dengan hati yang ikhlas dan mengharapkan ridho Nya, apabila ingin dilafalkan jangan terlalu keras sehingga mengganggu Muslim lainnya, memang ada beberapa pendapat tentang niat ini gunakanlah dengan hikmah bijaksana.

“Aku niat shalat sunnah 'Idul Fitri dua rakaat menghadap qiblat menjadi ma'mum karena Allah ta'aalaa.”

Waktu melaksanakan shalat hari raya adalah setelah terbit matahari sampai condongnya matahari. 
Syarat, rukun dan sunnatnya shalat idul fitri sama seperti shalat yang lainnya. Hanya ditambah beberapa sunnat sebagai berikut :
1. Berjamaah

2. takbir tujuh kali pada rakaat pertama, dan lima kali pada rakat kedua

Diriwayatkan dari Amru bin Syu'aib, dari ayahnya, dari neneknya, ia berkata : Sesungguhnya Nabi SAW. bertakbir pada salat 'ied dua belas kali takbir. dalam raka'at pertama tujuh kali takbir dan pada raka'at yang kedua lima kali takbir dan tidak salat sunnah sebelumnya dan juga sesudahnya. (H.R : Amad dan Ibnu Majah) 

3. Mengangkat tangan setinggi bahu pada setiap takbir.
    4. Setelah takbir yang kedua sampai takbir yang terakhir membaca tasbih.  
    ada sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia mengatakan, “Di antara tiap takbir, hendaklah menyanjung dan memuji Allah.”[28] Syaikhul Islam mengatakan bahwa sebagian salaf di antara tiap takbir membaca bacaan,

    سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ . اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي 
    Subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar. Allahummaghfirlii war hamnii (Maha suci Allah, segala pujian bagi-Nya, tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah selain Allah. Ya Allah, ampunilah aku dan rahmatilah aku).”

    5. Membaca surat Qaf dirakaat pertama dan surat Al Qomar di rakaat kedua. Atau surat A’la dirakat pertama dan surat Al Ghasiyah pada rakaat kedua. 

    Ada riwayat bahwa ‘Umar bin Al Khattab pernah menanyakan pada Waqid Al Laitsiy mengenai surat apa yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri? Ia pun menjawab,:


    كَانَ يَقْرَأُ فِيهِمَا بِ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) وَ (اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ)
     “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca “Qaaf, wal qur’anil majiid” (surat Qaaf) dan “Iqtarobatis saa’atu wan syaqqol qomar” (surat Al Qomar).”
    Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
     
    كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ. 

    “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ‘ied maupun shalat Jum’at “Sabbihisma robbikal a’la” (surat Al A’laa) dan “Hal ataka haditsul ghosiyah” (surat Al Ghosiyah).” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat

    6. imam menyaringkan bacaannya.  

    7. Khutbah dua kali setelah shalat sebagaimana khutbah jum’at  
    Dari Ibnu ‘Umar, ia mengatakan,

    كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ – رضى الله عنهما – يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ

    “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr, begitu pula ‘Umar biasa melaksanakan shalat ‘ied sebelum khutbah.”[31]

    8. Pada khutbah Idul Fitri memaparkan tentang zakat fitrah dan pada Idul Adha tentang hukum – hukum Qurban.  

    Telah berkata Jaabir ra: Saya menyaksikan salat 'ied bersama Nabi saw. beliau memulai salat sebelum khutbah tanpa adzan dan tanpa iqamah, setelah selesai beliau berdiri bertekan atas bilal, lalu memerintahkan manusia supaya bertaqwa kepada Allah, mendorong mereka untuk taat, menasihati manusia dan memperingatkan mereka, setelah selesai beliau turun mendatangai shaf wanita dan selanjutnya beliau memperingatkan mereka. (H.R : Muslim)

    9. Mandi, berhias, memakai pakaian sebaik-baiknya.  

    Niat mandi hari raya idul fitri

    “Niat saya mandi pada hari Idul Fitri sunah karena Allah ta’ala”

    Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar ketika shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha dengan pakaiannya yang terbaik.

    10. Makan terlebih dahulu pada salat Idul Fitri pada Salat Idul Adha sebaliknya
      Diriwayatkan dariAnas bin Malik ra. ia berkata : Adalah Nabi SAW. Tidak berangkat menuju mushalla kecuali beliau memakan beberapa biji kurma, dan beliau memakannya dalam jumlah bilangan ganjil. (H.R : Al-Bukhary dan Muslim)

      Dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,

      كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ
      “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied pada hari Idul Fithri dan beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari shalat ‘ied baru beliau menyantap hasil qurbannya.”

      Minggu, 14 Agustus 2011

      NIAT ZAKAT FITRAH BESERTA CARANYA

       NIAT ZAKAT FITRAH


      Niat wajib dalam hati. Sunnah melafadzkannya dalam madzhab syafi’i
      Adapun lafadz Niat untuk zakat fitrah diri sendiri adalah

      نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ اْلفِطْرِ عَنْ نَفْسِي لِلَّهِ تَعَالىَ

      (Saya niat mengeluarkan zakat fitrah saya karena Allah Ta’ala)
      sedangkan lafadz Niat untuk zakat fitrah orang lain adalah

      نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ اْلفِطْرِ عَنْ  فُلاَنٍ أَوْ فُلاَنَةْ لِلَّهِ تَعَالىَ

      (saya niat mengeluarkan zakat fitrah fulan atau fulanah karena Allah Ta’ala)

      Cara niat zakat fitrah

      a. Jika dikeluarkan sendiri, maka diniatkan ketika menyerahkannya kepada yang berhak atau setelah memisahkan beras sebagai fitrahnya. Apabila sudah diniatkan ketika dipisah maka tidak perlu diniatkan kembali ketika diserahkan kepada yang berhak

      b. Jika diwakilkan, diniatkan ketika menyerahkan kepada wakil atau memasrahkan niat kepada wakil. Apabila sudah diniatkan ketika menyerahkan kepada wakil maka tidak wajib bagi wakil untuk niat kembali ketika memberikan kepada yang berhak, namun lebih afdhol tetap meniatkan kembali, tetapi jika memasrahkan niat kepada wakil maka wajib bagi wakil meniatkannya

      wallaahua'lam bish-shawab

      ZAKAT FITRAH DI BULAN SUCI RAMADHAN

      Zakat Fitrah ialah zakat diri yang diwajibkan atas diri setiap individu lelaki dan perempuan muslim yang berkemampuan dengan syarat-syarat yang ditetapkan. Kata fitrah yang ada merujuk pada keadaan manusia saat baru diciptakan sehingga dengan mengeluarkan zakat ini manusia dengan izin Allah SWT akan kembali fitrah.

      “…Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” [Al Ahzab:33]

      Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. ia berkata : Rasulullah saw telah memfardhukan zakat fithrah untuk membersihkan orang yang shaum dari perbuatan sia-sia dan dari perkataan keji dan untuk memberi makan orang miskin. Barang siapa yang mengeluarkannya sebelum salat, maka ia berarti zakat yang di terima dan barang siapa yang mengeluarkannya sesudah salat 'ied, maka itu berarti shadaqah seperti shadaqah biasa (bukan zakat fithrah). (H.R : Abu Daud, Ibnu Majah dan Daaruquthni).
       
       Siapakah Orang yang wajib Membayar Zakat??
      Pada prinsipnya  setiap muslim diwajibkan untuk mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya , keluarganya dan orang lain yang menjadi tanggungannya baik orang dewasa, anak kecil, laki-laki maupun wanita. Berikut adalah syarat yang menyebabkan seseorang wajib membayar zakat fitrah:

      1. Individu yang mempunyai kelebihan makanan atau hartanya dari keperluan tanggungannya pada malam dan pagi hari raya. Zakat fitrah diwajibkan ke atas orang yang mampu, yaitu memiliki kecukupan yang melebihi keperluannya untuk sehari semalam. Batas ini ditetapkan oleh para ahli fiqih mengingatkan tujuan zakat fitrah adalah untuk memenuhi keperluan orang miskin selama satu hari, yaitu pada 1 Syawal ( Aidil Fitri).
       Kecukupan yang melebihi keperluannya adalah sesuatu yang sedia ada di sisinya. Oleh itu tidak perlu menjual harta, barang kemas dan sebagainya untuk mencapai taraf kecukupan.

      2. Orang-orang yang nafkah hidupnya berada dibawah tanggungan orang lain, maka dia tidak wajib membayar zakat fitrah. Zakat fitrahnya dibayar oleh orang yang menanggung nafkah hidupnya, berdalilkan hadis berikut:

       Diriwayatkan dari Hisyam bin urwah dari ayahnya dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. bersabda : Tangan di atas (memberi dan menolong) lebih baik daripada tangan di bawah (meminta-minta), mulailah orang yang menjadi tanggunganmu (keluarga dll) dan sebaik-baik shadaqah adalah yang di keluarkan dari kelebihan kekayaan (yang di perlukan oleh keluarga) (H.R : Al-Bukhary dan Ahmad)

      Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. ia berkata : Rasulullah sw. memerintahkan untuk mengeluarkan zakat fithrah unutk anak kecil, orang dewasa, orang merdeka dan hamba sahaya dari orang yang kamu sediakan makanan mereka (tanggunganmu). (H.R : Daaruquthni, hadits hasan)

      2. Anak yang lahir sebelum matahari jatuh pada akhir bulan Ramadan dan hidup selepas terbenam matahari. bayi yang dilahirkan sesaat sebelum terbenamnya matahari di hari terakhir bulan Ramadhan dan terus hidup sampai setelah terbenamnya matahari malam 1 Syawwal.

      3. Memeluk Islam sebelum terbenam matahari pada akhir bulan Ramadan dan tetap dalam Islamnya.

      4. Seseorang yang meninggal selepas terbenam matahari akhir Ramadan. orang yang meninggal setelah masuk waktu maghrib malam lebaran (malam 1 Syawwal) wajib baginya zakat fitrah (dikeluarkan dari harta peninggalannya).

       kapan waktu yang tepat di keluarkannya zakat fitrah???

      Zakat Fitrah dikeluarkan pada bulan Ramadhan, paling lambat sebelum orang-orang selesai menunaikan Shalat Ied. Jika waktu penyerahan melewati batas ini maka yang diserahkan tersebut tidak termasuk dalam kategori zakat melainkan sedekah biasa.

      Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. ia berkata : Rasulullah saw telah memfardhukan zakat fithrah untuk membersihkan orang yang shaum dari perbuatan sia-sia dan dari perkataan keji dan untuk memberi makan orang miskin. Barang siapa yang mengeluarkannya sebelum salat, maka ia berarti zakat yang di terima dan barang siapa yang mengeluarkannya sesudah salat 'ied, maka itu berarti shadaqah seperti shadaqah biasa (bukan zakat fithrah). (H.R : Abu Daud, Ibnu Majah dan Daaruquthni).

      Diriwayatkan dari Umar bin Nafi' dari ayahnya dari Ibnu Umar ia berkata ; Rasulullah telah mewajibkan zakat fithrah satu sha' dari kurma atau satu sha' dari sya'iir atas seorang hamba, merdeka, laki-laki, wanita, anak kecil dan orang dewasa dari kaum muslimin dan beliau memerintahkan agar di tunaikan / dikeluarkan sebelum manusia keluar untuk salat 'ied. (H. R : Al-Bukhary, Abu Daud dan Nasa'i).


      Berapa jumlah akat yang harus dikeluarkan oleh seorang muslim??

      Besar zakat yang dikeluarkan menurut para ulama adalah sesuai penafsiran terhadap hadits adalah sebesar satu sha' (1 sha'=4 mud, 1 mud=675 gr) atau kira-kira setara dengan 3,5 liter atau 2.7 kg makanan pokok (tepung, kurma, gandum,zahib (anggur) dan aqith (semacam keju) ) atau Untuk daerah/negara yang makanan pokoknya selain 5 makanan di atas, mazhab Maliki dan Syafi’i membolehkan membayar zakat dengan makanan pokok yang lain, yakni yang biasa dikonsumsi di daerah yang bersangkutan.

      Dari hadits di atas, bayarlah zakat fitrah anda dengan makanan yang biasa anda makan. Bukan uang. Karena Nabi dan para sahabat membayar zakat Fitrah dengan makanan. Bukan dengan uang yang biasa mereka pakai seperti uang Dirham.
      Diriwayatkan dari Ibnu Umar t.ia berkata : Rasulullah telah mewajibkan zakat fithrah dari bulan Ramadan satu sha' dari kurma, atau satu sha' dari sya'iir. atas seorang hamba, seorang merdeka, laki-laki, wanita, anak kecil dan orang dewasa dari kaum muslilmin. (H.R : Al-Bukhary dan Muslim) 

      Diriwayatkan dari Umar bin Nafi' dari ayahnya dari Ibnu Umar ia berkata ; Rasulullah telah mewajibkan zakat fithrah satu sha' dari kurma atau satu sha' dari sya'iir atas seorang hamba, merdeka, laki-laki, wanita, anak kecil dan orang dewasa dari kaum muslimin dan beliau memerintahkan agar di tunaikan / dikeluarkan sebelum manusia keluar untuk salat 'ied. (H. R : Al-Bukhary, Abu Daud dan Nasa'i)

       Siapa saja yang berhak menerima zakat fitrah???

      Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [At Taubah:60]

      Penerima Zakat secara umum ditetapkan dalam 8 golongan/asnaf, yaitu:

      1. fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya 
      2. miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.
      3. Amil: Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.
      4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.
      5. Hamba sahaya,( Orang yang Memerdekakan budak): mencakup juga untuk melepaskan muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.
      6. Gharimin (Orang berhutang): orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.
      7. fiisabilillah (Orang yang beramal Pada jalan Allah (sabilillah): yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
      8. Ibnu Sabil : Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.

      namun menurut beberapa ulama khusus untuk zakat fitrah mesti didahulukan kepada dua golongan pertama yakni fakir dan miskin. Pendapat ini disandarkan dengan alasan bahwa jumlah/nilai zakat yang sangat kecil sementara salah satu tujuannya dikeluarkannya zakat fitrah adalah agar para fakir dan miskin dapat ikut merayakan hari raya dan saling berbagi sesama umat islam.

      apa hikmah yang terkandung dalam pengeluaran zakat fitrah??
      1. Zakat fitrah merupakan zakat diri, di mana Allah memberikan umur panjang baginya sehingga ia bertahan dengan nikmat-l\lya.
      2. Zakat fitrah  merupakan bentuk pertolongan kepada umat Islam, baik kaya maupun miskin sehingga mereka dapat berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada Allah Ta'ala dan bersukacita dengan segala anugerah nikmat-Nya.
      3.  tanda syukur orang yang berpuasa kepada Allah atas nikmat ibadah puasa.
      4. Di antara hikmahnya adalah sebagaimana yang terkandung dalam hadits Ibnu Abbas radhiAllahu 'anhuma di atas, yaitu puasa merupakan pembersih bagi yang melakukannya dari kesia-siaan dan perkataan buruk, demikian pula sebagai salah satu sarana pemberian makan kepada fakir miskin.
      5. zakat akan membersihkan kita dari dosa.
       sebagaimana firman Allah SWT:
      Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” [Al Ahzab:33]
      6. dengan membayar zakat mak Allah akan memberi rahmat pada kita.
      “Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.” [An Nuur:56]
      7. Dengan Zakat kita akn mendapat ridho Allah dan balasan yang berlipat ganda.
      sebagaimana firman Allah:
      ...Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” [Ar Ruum:39]

      Sabtu, 13 Agustus 2011

      MALAM LAILATUL QADAR

       Lailatul Qadar artinya malam kemuliaan yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. dan hanya ada di bulan Ramadhan saja turunnya, tidak ada di bulan lain.
       pada sepertiga terakhir dari bulan yang penuh berkah ini terdapat malam Lailatul Qadar, suatu malam yang dimuliakan oleh Allah melebihi malam-malam lainnya. Di antara kemuliaan malam tersebut adalah Allah mensifatinya dengan malam yang penuh keberkahan. Allah Ta’ala berfirman,
      إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (3) فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ (4  
      “Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi. dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan [44] : 3-4).

      Malam yang diberkahi dalam ayat ini adalah malam lailatul qadar sebagaimana ditafsirkan pada surat Al Qadar. Allah Ta’ala berfirman,

      إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) 
      Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.” (QS. Al Qadar [97] : 1)
      Keberkahan dan kemuliaan yang dimaksud disebutkan dalam ayat selanjutnya,
      لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5)
      “Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadar [97] : 3-5) 
      Kapan Malam Lailatul Qadar Terjadi?
      Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
      تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
      Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)

      Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil itu lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
      تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
      Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)
      Terjadinya lailatul qadar di tujuh malam terakhir bulan ramadhan itu lebih memungkinkan sebagaimana hadits dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
      الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ - يَعْنِى لَيْلَةَ الْقَدْرِ - فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى
      Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir, namun jika ia ditimpa keletihan, maka janganlah ia dikalahkan pada tujuh malam yang tersisa. (HR. Muslim)
      Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
      الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى تَاسِعَةٍ تَبْقَى ، فِى سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِى خَامِسَةٍ تَبْقَى
      Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.”  (HR. Bukhari)
      Tanda Malam Lailatul Qadar
      [1] Udara dan angin sekitar terasa tenang. Sebagaimana dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
      لَيْلَةُ القَدَرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلَقَةٌ لَا حَارَةً وَلَا بَارِدَةً تُصْبِحُ الشَمْسُ صَبِيْحَتُهَا ضَعِيْفَةٌ حَمْرَاء
      Lailatul qadar adalah malam yang penuh kelembutan, cerah, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar lemah dan nampak kemerah-merahan.” (HR. Ath Thoyalisi.  Haytsami mengatakan periwayatnya adalah tsiqoh /terpercaya)
      [2] Malaikat menurunkan ketenangan sehingga manusia merasakan ketenangan tersebut dan merasakan kelezatan dalam beribadah, yang tidak didapatkan pada hari-hari yang lain.
      [3] Manusia dapat melihat malam ini dalam mimpinya sebagaimana terjadi pada sebagian sahabat.
      [4] Matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan jernih, tidak ada sinar. Dari Abi bin Ka’ab bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,”Shubuh hari dari malam lailatul qadar matahari terbit tanpa sinar, seolah-olah mirip bejana hingga matahari itu naik.” (HR. Muslim) (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/149-150)
      [5] Udara dan suasana pagi yang tenang
      Ibnu Abbas radliyallahu’anhu berkata: Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam bersabda:
      “Lailatul qadar adalah malam tentram dan tenang, tidak terlalu panas dan tidak pula terlalu dingin, esok paginya sang surya terbit dengan sinar lemah berwarna merah” (Hadist hasan)
      [6] Cahaya mentari lemah, cerah tak bersinar kuat keesokannya
      Dari Ubay bin Ka’ab radliyallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam bersabda:
      “Keesokan hari malam lailatul qadar matahari terbit hingga tinggi tanpa sinar bak nampan” (HR Muslim) 

      Apakah Lailatul Qodar itu hanya untuk orang tertentu atau umum untuk semua muslim?
      Ada dua pendapat ulama’:

      1.      Sekelompok Ulama’ berpendapat bahwa Lailatul Qodar itu turun  khusus hanya bagi orang tertentu yang tampak baginya tanda Lailatul Qodar secara nyata atau melalui mimpi, dan tidak mendapatkannya  orang yang tidak mengetahui tanda-tandanya pada saat turun. Pendapat ini didasarkan pada penafsiran hadits ‘Aisyah : Bagaimana Rasulullah jika aku bertepatan (waafaqtu) dengan Lailatul Qodar apa yang aku baca ? Maka Rasulullah menjawab : “ Bacalah ! ‘ Yaa Allah sesungguhnya Engkau Maha Pengampun senang mengampuni maka ampunilah aku. ” (H.R. Muslim) Kata “waafaqtu” ditafsiri oleh ulama dengan menemukan dan mengetahui Lailatul Qodar secara nyata  dan ini syarat untuk mendapatkan pahala khusus itu.

      2.      Sebagian Ulama yang lain berpendapat bahwa Lailatul Qodar itu umum untuk setiap orang yang melakukan ibadah malam itu walaupun tidak mengetahui dan tidak ada tanda-tanda tetap mendapat nilai keutamaan Lailatul Qodar. Karena kata” waafaqtu” tidak  berarti harus mengetahi tanda-tandanya baik melihat atau mendengar langsung atau tidak langsung.

      Lailatul Qodar itu adalah sebuah malam yang penuh dengan fadlilah dan tidak berbentuk suatu benda apa pun dan umum bagi setiap orang yang mencarinya dan mengharapkan keutamaannya, setiap orang yang beribadah  dalam bentuk apa pun baik itu shalat, membaca Al-Qur’an, berdzikir, bershodaqoh, berdo’a, beri’tikaf dan semua amalan shaleh baik dia merasa atau tidak  jika yang dilakukan itu bertepatan dengan  Lailatul Qodar, maka akan dapat nilai pahala seribu bulan atau 83 tahun. Atau dengan kata lain, Jika seseorang sebulan penuh shalat tarawih dan tadarrus Al-Qur’an  atau amal yang lain secara istiqomah pasti di antara yang dilakukan itu akan bertepatan dengan Lailatul Qodar.  

      Walluhu a’lam bisshowab.

      Selasa, 09 Agustus 2011

      MELATIH PUASA BAGI ANAK-ANAK

      Puasa bagi anak-anak pada dasarnya tidak wajib, meski demikian mengajari mereka sejak dini agar berpuasa  merupakan perbuatan sunnah Nabi dan para salaf shalih as, sepanjang mereka mampu menjalankannya. 
      Selain itu menanamkan kebiasaan puasa sejak dini adalah hal yang lebih baik.


      Memang bagi si kecil mengajari puasa bukan hal yang gampang. Tapi tentu saja bagi orangtua tak boleh menyerah. Melatih anak berpuasa sebenarnya bisa dilakukan sejak usia balita. Memang sebagai langkah awal, si kecil tak harus puasa sehari penuh tetapi bisa memulai puasa dengan puasa tengah hari bahkan seperempat hari bagi anak-anak yang masih balita, misalnya dhuhur buka, asar buka dan maghrib buka.  


       mengajarkan puasa pada anak dapat dilakukan dengan perlahan dan lakukanlah dengan tidak memaksa.kita sebagai orangtua bisa memulai dengan memberikan pengertian kepada anak-anak mengenai makna dan tujuan puasa. Hal ini lebih tepatnya kita lakukan dengan praktik langsung. Misalnya dengan melibatkan anak-anak dalam kegiatan Ramadhan, seperti tarawih,tadarus, buka puasa dan sahur. Hal ini secara tidak langsung akan membuat anak ikut menjalankan apa yang dijalankan pada bulan puasa ramadhan.


      Langkah selanjutnya adalah dengan menciptakan keadaan yang menyenangkan untuk berpuasa. Hal ini bertujuan untuk membentuk anak berpikir positif bahwa puasa itu menyenangkan. Ciptakanlah suasana yang hangat saat berbuka bersama, sahur dan salat tarawih bersama. Dari hal kecil ini, anak akan beranggapan bulan puasa itu sangat menyenangkan.


      Ketiga jangan memaksa anak untuk berpuasa, pasti akan menuai kontraproduktif. Karena anak akan berpikir puasa itu paksaan dari orangtua sehingga apa yang dilakukan tidak didasari dengan keinginan hati yang ikhlas.  Jika anak tetap dipaksakan, maka dikhawatirkan, yang ada anak menjadi tidak mau berpuasa.


      apa hukum puasa bagi anak-anak???


      Rasulullah SAW bersabda:
      Dari Rubayyi binti Muawidz berkata:” Di pagi Asyura’ Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan ke kampung-kampung Anshar :” Siapa yang pagi ini dalam keadaan puasa maka sempurnakanlah puasanya, dan barangsiapa yang pagi ini dalam keadaan tidak berpuasa, maka berpuasalah pada sisa hari ini. Dan kamipun melakukan puasa Asyura’. Sebagaimana kami menyuruh puasa anak-anak kecil kami, dan kami beserta putra-putra kami berangkat ke masjid dengan menjadikan mainan dari kapas buat mereka, jika ada salah seorang dari mereka menangis minta makanan, kami berikan mainan itu kepadanya sampai masuk waktu berbuka” (HR Bukhari dan Muslim)

      Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa melatih anak dalam berpuasa merupakan anjuran syara` yang tidak terbantah. Hadits tersebut di atas dalam konteks puasa sunnah yaitu puasa asyura`, bagaimana dengan puasa wajib seperti Ramadhan? Tentu Ramadhan memiliki tempat tersendiri bagi Rasulullah dan salaf saleh. Bila dalam puasa sunnah Rasulullah membenarkan adanya latihan puasa bagi anak-anak maka dalam puasa wajib tentu lebih prioritas. Itulah yang disebut dengan qiyas aulawi ( analogi prioritas ).

      Imam al-Bukhari memandang bahwa belajar puasa bagi anak yang belum baligh sudah mentradisi di kalangan penduduk Madinah dan ini merupakan dalil syara` tersendiri. Karenanya dengan sengaja beliau meletakkan judul pada pasal puasa “ bab puasa bagi anak-anak” Dalam khazanah fiqih Islam kita dapatkan bahwa mayoritas ulama memandang pentingnya pemberlakuan puasa bagi anak yang belum baligh meski tidak berstatus wajib, bahkan sebagian mereka seperti Ibnu Sirin, az-Zuhri, as-Syafii memandang sunnah dalam pembelajaran tersebut dengan catatan hal tersebut mampu dilakukannya secara normal, bahkan Ibnu Majisyun al-Maliki memandang agak berbeda dari para ulama maliki yang lain bahwa anak yang telah mampu berpuasa maka puasa baginya adalah keharusan dan jika meninggalkannya tanpa udzur maka harus membayarnya ( qadha). (lihat Fathul Bari; Ibnu Hajar al-Asqalani: 5/103).



      Senin, 08 Agustus 2011

      BOLEHKAH PEKERJA BERAT MEMBATALKAN PUASA RAMADHAN???

      Apakah para pekerja yang menghabiskan banyak tenaganya, misalnya: kuli, tukang becak, pekerja bangunan, pekerja bengkel, pemain sepakbola profesional, dsb, diperbolehkan untuk membatalkan puasa ramadhan???? Tidakkah puasa itu memberatkan atau mengurangi produktivitas mereka??

      Pada dasarnya Pekerjaan apapun tidaklah menyebabkan bolehnya berbuka di bulan Ramadhan, karena berbuka hanya boleh bagi orang yang sakit dan musafir, haid, hamil dan menyusui jika keduanya  takut kepada dirinya (mudharat) atau terhadap anaknya.orang yang bekerja tidak boleh berbuka karena dia mukim, tidak safar, dan juga dia sehat tidak sakit, dan dia tidak mempunyai udzur dari udzur-udzur yang disyariatkan yang diberi keringanan bagi orang yang berpuasa untuk berbuka. 

       Pekerja keras bukan termasuk dalam kategori orang yang diringankan untuk berbuka puasa. Berat atau ringannya pekerjaan bukan sebab yang meringankan orang untuk berbuka.

      Pekerja keras bila merasa berat menjalankan puasa,maka hendaknya mereka berusaha mencari pekerjaan lain yang memungkinkannya berpuasa dan mencari nafkah  atau waktu kerjanya dapat dialihkan ke malam hari. Bila ia tidak menemukan pekerjaan ringan sedangkan ia wajib menafkahi dirinya dan keluarganya, maka ia harus mencoba dulu berpuasa dan wajib berniat puasa sejak malam hari, kemudian bekerja seperti biasa dalam kondisi berpuasa. Bersahurlah dengan porsi makanan yang menguatkan dan menjaga stamina tubuh. 

      Ketika ia mengalami kesulitan dan benar-benar tidak mampu melanjutkan puasa dengan isyarat tanda-tanda awal yang muncul pada fisiknya, seperti lemas sekali dan kehilangan tenaga, pada kondisi demikian ia boleh berbuka, namun wajib mengqadhanya di hari lain. Dalam kondisi tetap kuat berpuasa dan tidak mengalami kesulitan, maka wajib atasnya untuk meneruskan dan menyempurnakan puasanya hingga tenggelam matahari.  

      Akan tetapi menurut sebagian ulama' ada yang mengatakan bahwa:"Jika Anda sangat membutuhkan pekerjaan itu, dan Anda sangat merasa letih bila berpuasa sambil bekerja, Anda tidak wajib berpuasa. Tetapi Anda wajib membayar fidyah sekitar setengah liter beras setiap hari selama Anda tidak berpuasa."( M.Quraisy syihab.)

      1. Para Fuqoha’ (ahli fikih) memperbolehkan meninggalkan puasa bagi para pekerja keras yang terpaksa harus bekerja di siang hari Ramadhan demi mencukupi kebutuhannya serta keluarganya. Namun ia harus (wajib) mengqadha’ puasa yang ditinggalkannya di lain hari, setelah terlepas dari kesibukan yang melelahkan demikian itu.

      2. Apabila ia tidak menemukan hari luang hingga ia meninggal dunia, maka ia tidak terkena hukum wajib qodha’ dan juga tidak terkena hukum wajib memberi wasiat bayar fidyah.

      3. Apabila ia yakin atau mempunyai prediksi yang sangat kuat, bahwa ia tidak akan punya kesempatan untuk mengqadha’ puasa di lain hari, maka ia dihukumi sebagaimana orang tua renta (boleh meninggalkan puasa dan harus mengganti setiap harinya 1/2 sha’ bahan makan atau nilai tukarnya [membayar fidyah).

      Catatan: satu sha’ = 4 (empat) mud. 1 (satu) mud = 675 gram atau 688 liter (pen). 

      4. Dalam fikih Hanafi, … jika terpaksa harus bekerja di bulan Ramadhan dan ia mempunyai dugaan yang sangat kuat (melalui saran dokter atau melalui pengalamannya sendiri), bahwa puasa dapat menyebabkan kemudharatan bagi kesehatannya atau dapat mengganggu fitalitasnya sehingga ia tidak dapat melaksanakan pekerjaannya (yang merupakan tumpuan hidupnya) secara baik, maka dalam keadaan demikian diperbolehkan baginya untuk meninggalkan puasa (diambil dari Ibnu Abidin).


      5. Imam Abu Bakar Al-Ajiri mengatakan bahwa jika ia mengkhawatirkan kondisinya karena pekerjaan berat yang ia lakukan maka dia boleh tidak berpuasa dan wajib mengqadha'nya. Namun, mayoritas ulama mengatakan bahwa mereka tetap wajib berpuasa dan jika ternyata ditengah hari dia tidak mampu lagi melanjutkan puasanya, barulah ia membatalkannya dan wajib mengqadha' nya. Sebagaimana firman Allah "Dan janganlah kamu membunuh dirimu, karena sesungguhnya Allah Maha Peenyayang kepadamu." [Surat Annisa 29]

        Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa seorang pekerja keras apapun  alasan pekerjaanya, tetap tidak di perkenankan membatalkan puasa, selama mereka masih mampu menjalankannya sambil bekerja. hendaknya mereka mencari pekerjaan yg lebih ringan di bulan puasa atau merubah waktu kerjanya di malam hari. Baru ketika mereka bener-benar tidak kuat melanjutkan puasa karena sebab2 tertentu, mislnya pingsan saat bekerja,di perbolehkan bagi mereka membatalkan puasa ramadhan karena itu akan menyebabkan kemadharatan pada dirinya. jadi, kewajiban para pekerja keras adalah mengganti (mengqadha’) puasa yang ditinggalnya di hari lain .
      Wallaahua'lam bish-shawab